Yayasan Ibu Mengaji Indonesia

Sifat Teman Sejati

www.ibumengaji.com Khalid bin Shafwan rahimahullah adalah salah satu tokoh terkemuka dari kalangan tabi’in, generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ dan sempat berguru kepada mereka. Ia dikenal sebagai seorang orator ulung, ahli hikmah, serta memiliki kefasihan dalam berbicara dan kedalaman dalam berpikir. Ia berasal dari wilayah Bashrah di Irak, sebuah kota yang pada masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah menjadi pusat intelektual dan peradaban Islam.

Khalid bin Shafwan hidup pada masa keemasan ilmu dan kebudayaan Islam awal, saat banyak pemikir, ahli bahasa, dan ulama besar muncul. Ia sempat bertemu dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh besar seperti Hasan al-Bashri dan lainnya. Namanya banyak disebut dalam buku-buku tarikh dan adab klasik, terutama karena ketajaman akalnya dan kemampuannya dalam menyampaikan pesan dengan gaya bahasa yang kuat dan menyentuh.

Diriwayatkan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Khalid bin Shafwan رحمه الله:

وقيل لخالد بن صفوان رحمه الله: أي إخوانك أحب إليك؟ قال: الذي يغفر زللي، ويقبل عللي، ويسد خللي.

“Dan dikatakan kepada Khalid bin Shafwan رحمه الله: ‘Teman seperti apa yang paling kamu sukai?’ Beliau menjawab: ‘Yang memaafkan ketergelinciranku, menerima alasanku, dan menutupi kekuranganku.'”

Dalam kehidupan ini, setiap orang pasti membutuhkan teman. Namun, tidak semua teman bisa disebut teman sejati. Ada yang hanya hadir saat senang, namun menghilang saat susah. Ada pula yang dekat hanya karena urusan dunia. Lalu, seperti apakah sebenarnya sosok teman yang layak disebut sejati?

Tiga Pilar Persahabatan yang Tulus

Jawaban Khalid bukan sekadar retorika, melainkan kristalisasi pengalaman hidup dan pengamatan mendalam terhadap hakikat manusia dan persahabatan. Tiga kriteria yang disebutkan menggambarkan tiga kebutuhan manusia dalam relasi sosial yang sehat dan penuh kasih sayang:

1. “Yang memaafkan ketergelinciranku” (الذي يغفر زللي)

Setiap manusia pasti memiliki titik lemah dan pernah jatuh dalam kesalahan. Dalam kehidupan sosial, sangat mungkin kita melukai orang lain, meski tidak sengaja. Sahabat sejati adalah yang mampu memaafkan, tidak menyimpan dendam, dan memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Ini menunjukkan keutamaan akhlak berupa ‘afw (pemaafan), yang juga merupakan sifat Allah SWT sendiri.

2. “Yang menerima kekuranganku” (يقبل عللي)

Kata “عللي” berasal dari “علّة” yang berarti penyakit atau kelemahan. Khalid menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kondisi-kondisi manusia yang tidak sempurna. Teman sejati adalah yang menerima kita apa adanya, tidak menuntut kesempurnaan, dan tetap mendampingi di tengah keterbatasan. Dalam dunia yang sering mengukur manusia dengan standar kinerja dan pencapaian, menerima kelemahan menjadi tanda cinta yang tulus.

3. “Yang menutupi kekuranganku” (يسد خللي)

“خللي” berasal dari “خلل”, yang berarti celah atau kekurangan. Maknanya di sini adalah sahabat yang tidak hanya memahami kekurangan kita, tetapi juga mengisi dan melindungi kita dari dampak kekurangan itu. Ibarat tembok yang retak, ia tidak hanya menunjukkannya, tapi menambalnya agar tidak runtuh. Ini menunjukkan dukungan aktif, bukan sekadar penerimaan pasif.

Mengapa Tiga Kriteria Ini?

Bila kita renungkan, tiga kriteria ini mencerminkan sebuah hubungan yang tidak didasarkan pada keuntungan semata, melainkan pada kasih sayang, kesetiaan, dan ketulusan. Dalam konteks spiritual dan moral Islam, persahabatan semacam ini adalah bentuk ukhuwah yang dibangun di atas cinta karena Allah (al-mahabbah fi-llah).

Banyak ulama yang menukil hikmah serupa. Al-Jahiz dalam al-Bayan wa al-Tabyin memuji orang-orang yang memiliki kelapangan hati dalam menerima manusia lain dengan segala kelebihannya dan kekurangannya. Ibn Hazm dalam Tawq al-Hamamah pun menekankan bahwa cinta sejati, termasuk dalam persahabatan, adalah yang mampu merangkul manusia secara utuh, bukan hanya dalam momen bahagia atau keberhasilan.

Penutup

Ucapan Khalid bin Shafwan mengajarkan kita bahwa sahabat sejati bukanlah yang hanya hadir saat kita kuat, sukses, dan tanpa cela, tetapi justru mereka yang bertahan dan tetap setia saat kita goyah, terluka, dan menampakkan kelemahan. Ketiga kriteria ini menjadi tolak ukur dalam memilih dan menjadi sahabat yang sejati. Dalam zaman yang semakin individualistis ini, pesan Khalid bin Shafwan menjadi oase hikmah yang patut direnungkan kembali.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments