Yayasan Ibu Mengaji Indonesia

Hidup, Cinta, dan Amal: Hikmah Abadi dari Pesan Jibril kepada Nabi ﷺ

www.ibumengaji.com Salah satu hadits yang sarat makna tentang kehidupan adalah pesan Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ: “Hidup sesukamu, tetapi engkau pasti akan mati. Cintailah siapa pun yang engkau mau, tetapi engkau pasti akan berpisah darinya. Berbuatlah sesukamu, tetapi engkau pasti akan dibalas. Dan kemuliaan seorang mukmin adalah qiyamullailnya, serta kehormatannya adalah merasa cukup dari manusia.” Hadits ini memberi rangkuman padat tentang realitas hidup, arah cinta, tanggung jawab amal, serta sumber kemuliaan seorang hamba.

Sebelum mengurai kandungan pesan hadits tersebut, penting memahami status atau derajatnya. Dalam ilmu musthalah hadits, ulama membagi derajat hadits ke beberapa tingkatan: shahih, hasan, dha’if, dan kategori khusus seperti maudhu’ (palsu). Hadits shahih adalah hadits yang memenuhi lima syarat: sanad bersambung, periwayat adil, periwayat kuat hafalannya, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat), dan tidak memiliki cacat tersembunyi. Hadits hasan berada satu tingkat di bawah shahih, dengan seluruh syarat sama kecuali tingkat ketelitian perawi yang sedikit di bawah periwayat shahih, namun tetap dapat diterima untuk diamalkan. Adapun hadits dha’if adalah yang tidak memenuhi kriteria tersebut, sementara hadits palsu tidak boleh diamalkan dalam urusan agama.

Hadits ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hasan li ghairihi. Istilah “hasan li ghairihi” bermakna hadits yang asalnya dha’if ringan, tetapi menjadi naik derajatnya karena memiliki banyak jalur lain yang saling menguatkan. Dengan kata lain, kelemahan ringan dalam satu sanad tertutupi oleh adanya riwayat lain yang mendukung. Karena itu, hadits hasan li ghairihi dapat diamalkan, terutama sebagai motivasi, nasihat, atau keutamaan amal (fadhailul a’mal). Penjelasan ini penting agar pembaca memahami bahwa makna hadits tersebut memiliki dasar kuat dalam khazanah Islam.

Isi hadits ini mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir. Kalimat “Hiduplah sesukamu, tetapi engkau pasti mati” mengajarkan bahwa umur yang panjang atau aktivitas duniawi tidak akan menghindarkan seseorang dari kematian. Sedangkan “Cintailah siapa pun, tetapi engkau pasti berpisah” menegaskan hakikat kefanaan semua hubungan duniawi. Cinta kepada manusia—sekuat apa pun—pada akhirnya akan berujung pada perpisahan, entah oleh takdir waktu atau perubahan keadaan. Yang benar-benar abadi hanyalah cinta kepada Allah yang menghasilkan amal saleh.

Pesan berikutnya, “Berbuatlah sesukamu, tetapi engkau pasti dibalas,” menanamkan kesadaran bahwa semua amal akan kembali kepada pelakunya. Kebebasan manusia bukanlah tanpa konsekuensi. Setiap pilihan akan menjadi hisab di akhirat. Maka, hadits ini sebenarnya bukan izin untuk berbuat sesuka hati, tetapi peringatan kuat agar seseorang berhati-hati menata amalnya.

Penutup hadits ini memberikan jalan bagi seorang mukmin untuk meraih kemuliaan dan harga diri yang sejati: qiyamullail dan merasa cukup dari manusia. Shalat malam adalah bukti kedekatan hamba dengan Rabb-nya—saat hati dibasuh dan iman dipertebal. Sementara sikap istighna’ ‘anin-nas atau tidak bergantung kepada manusia memelihara kehormatan diri dari meminta-minta, keluh-kesah, atau ketergantungan berlebihan kepada makhluk.

Untuk mengamalkan hadits ini, seseorang harus membangun kesadaran bahwa hidup, cinta, dan amal semuanya memiliki arah yang pasti menuju akhirat. Dengan begitu, ia belajar mencintai secara proporsional, bekerja dengan kesadaran balasan Allah, serta memelihara harga diri dengan memperbanyak hubungan dengan-Nya. Hadits ini, bila dipahami sungguh-sungguh, menjadi kompas yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang seimbang, bermakna, dan berorientasi pada keabadian.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments