www.ibumengaji.com Al-Futuhat al-Madaniyyah Syarh asy-Syu’āb al-Imānīyyah adalah sebuah karya tasawuf-ketakwaan yang sangat dalam maknanya, ditulis oleh Syekh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, ulama Nusantara besar kelahiran Banten (1813 M / 1230 H), yang kemudian lama mengajar dan menjadi imam di Masjidil Haram, Mekkah. Nama lengkap beliau sering disebut al-Bantani karena asalnya dari Banten, dan ia dikenal sebagai ulama syafi’i dengan karya lebih dari 100 kitab di berbagai disiplin ilmu: fiqih, tasawuf, tauhid, tafsir, dan lain-lain.
Kitab ini — yang sering disebut Al-Futuhatul Madaniyah Syarḥ Syu’āb al-Imaniyyah — adalah “syarah halus” atas Manẓūmah Syu’āb al-Imān (atau “Syu’āb al-Iman”), yakni nadhm (syair) yang mengurai “cabang-cabang iman.” Manẓūmah aslinya berasal dari karya Syekh Zainuddin bin ‘Ali al-Kusyini, yang menuliskan 77 cabang iman sebagaimana hadits Nabi saw. “Al-īmān buḍʿu wa sabʿūn shuʿbah …” (“Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang”) diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.
Syekh Nawawi al-Bantani kemudian menulis Al-Futuhat al-Madaniyyah sebagai penjabaran dari syair tersebut. Dalam mukadimahnya, beliau menyatakan bahwa kitabnya “adalah penjelas yang halus atas Syu’āb al-Imān,” dan bahwa ia mengambil referensi dari “muatan mutiara” kitab An-Nuqayah karya Jalāluddīn al-Suyūṭī serta dari Al-Futuhāt al-Makkiyyah milik Ibnu ‘Arabī. Dengan kata lain, kitab ini bukan sekadar komentar sederhana, tetapi menyatukan khazanah sufi dan teologi keimanan dalam kerangka kedalaman nadhm.
Pensyarah (penyusun syarah) dari kitab ini adalah Syekh Nawawi al-Bantani sendiri, sehingga “syarah” dan “penyusun” adalah sama: beliau menguraikan makna baris demi baris, kata demi kata, dari Syu’āb al-Imān. Dalam banyak pondok pesantren di Nusantara, syarah ini diajarkan agar para santri memahami makna cabang iman secara spiritual dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai doa:
“Ya Alloh, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka ucapkan, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui, janganlah Engkau menyiksaku dengan apa yang mereka katakan.”
Arab: اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي خَيْرًا مِمَّا يَقُولُونَ، وَاغْفِرْ لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ، وَلَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ.
Anda menyebut doa ini berasal dari Al-Futuhat al-Madaniyyah. Namun, dalam sumber-sumber yang saya telusuri tentang kitab tersebut (dan syarah Syu’āb al-Imān), saya tidak menemukan sanad atau riwayat hadits yang jelas untuk doa ini dari Nabi Muhammad SAW. Tidak ada bukti otentik (misalnya dalam koleksi hadits utama) yang mengaitkannya sebagai doa rasul secara langsung. Saya tidak menemukan kajian takhrij (penelusuran sanad hadits) yang menyatakan bahwa doa ini memiliki riwayat sahih dari Nabi SAW.
Dengan demikian, kemungkinan besar doa tersebut adalah nasihat tasawuf/spiritual yang diungkap oleh Syekh Nawawi al-Bantani sendiri dalam syarahnya, sebagai refleksi batin atas etika memuji dan menerima pujian dalam kehidupan spiritual. Doa ini lebih bersifat amalan hati (dhikr atau doa penghiburan), bukan hadits mutawatir atau sabda Nabi yang dikutip dalam sanad kuat.
Hikmah (manfaat) doa ini sangat dalam:
-
Kerendahan hati (tawadu’): Dengan meminta agar Allah menjadikan dirinya “lebih baik dari pujian orang lain”, seseorang menghindari kesombongan dan menjaga hati dari riya’ (ingin dipuji). Doa ini mengajarkan kita agar tidak terbuai oleh kata pujian manusia, melainkan berharap perbaikan hakiki dari Allah.
-
Permohonan ampunan atas hal yang tidak diketahui: Saya mohon ampun atas “apa yang tidak mereka ketahui” — maksudnya, mungkin orang lain puji, tetapi mereka tidak tahu kekurangan, kelemahan, atau dosa tersembunyi kita. Kita sadar bahwa manusia hanya melihat permukaan, sedangkan Allah Maha Mengetahui seluruh isi hati dan niat.
-
Perlindungan dari hasil ucapan orang: “Janganlah Engkau menyiksaku dengan apa yang mereka katakan” mencerminkan kesadaran bahwa ucapan orang lain (kata-kata baik atau buruk) bisa menjadi fitnah atau beban. Kita mohon agar Allah menjaga kita dari konsekuensi yang tidak pantas atau merugikan dari pujian atau kritik orang lain.
-
Pengakuan bahwa pujian adalah ujian: Dalam perspektif tasawuf, pujian bukan hanya hadiah, tetapi bisa menjadi ujian bagi qalb (hati). Jika tidak diiringi niat yang lurus dan kesadaran akan kelemahan diri, pujian bisa menjerumuskan. Doa ini membantu menjaga hati tetap seimbang dan fokus kepada peningkatan iman dan karakter.
-
Peningkatan spiritual: Doa ini bukan hanya permintaan duniawi, tetapi upaya spiritual agar menjadi hamba yang lebih baik di mata Allah, bukan hanya di mata manusia. Ini mencerminkan semangat sufi: memperdalam hubungan dengan Allah, merendahkan diri, dan terus bermuhasabah diri (introspeksi).
Penutup: doa tersebut, meskipun mungkin tidak bersanad kuat dari Nabi, tetap kaya warna tasawuf dan etika spiritual yang diajarkan dalam syarah Al-Futuhat al-Madaniyyah oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Kisah dan konteks kitab ini — sebagai ekspresi keimanan yang mendalam, penguraian 77 cabang iman, dan penjelasan spiritual — menjadikannya sangat relevan untuk refleksi batin dan pertumbuhan ruhani.