Yayasan Ibu Mengaji Indonesia

“Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban,” ayat yang terulang sampai 31 kali

www.ibumengaji.com Kakek itu menangis bukanlah karena ketidakmampuannya membayar tagihan biaya yang tertera di lembaran itu. Tapi dalam tangisnya tersemat sebuah kebesaran hati dan pengakuan yang mendalam terhadap karunia Allah SWT.

“Dokter yang baik,” ucap kakek itu di antara helaan napasnya yang terhela-hela, “saya tidak menangis karena tagihan yang harus saya bayar. Ini bukan soal uang. Ini tentang sebuah pengingat yang menggugah jiwa saya. Anda tahu, jika dalam sehari saja saya harus membayar 600 Riyal untuk menggunakan oksigen, karunia Allah yang diberikan tanpa diminta, maka bagaimana dengan hutang saya selama 78 tahun hidup dengan napas yang tiada hentinya? Jika kita menghitungnya, tagihan hutang saya kepada-Nya mencapai jumlah yang tak terbayangkan.” (Hitungannya : 600 SAR x 365 hari x 78 tahun = 17.082.000 SAR atau setara dengan Rp. 71.676.072.000,00)

Sambil menahan tangisnya, sang kakek melanjutkan, “Bayangkan, Dokter, jika saya mengalami tagihan sebesar itu hanya dalam satu hari, betapa besar hutang saya selama puluhan tahun ini. Kita lupa mengingat bahwa setiap napas yang kita hirup adalah anugerah-Nya yang tiada henti. Jadi, ketika saya membaca ‘Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban,’ itu bukan hanya sekadar ayat dalam kitab suci, tetapi juga cerminan dari betapa besar dan tak terhitung nikmat-Nya kepada kita semua.”

Dokter itu terdiam, tak mampu menahan air matanya yang tumpah.  Pertemuan dua jiwa yang tak terduga, mengalirkan air mata yang tak terbendung, meresapi makna kehidupan yang begitu dalam dan suci.

Surat Ar-Rahman menghadirkan sebuah pengalaman batin yang mendalam bagi setiap pembacanya. Tidak sekadar rangkaian kata, tetapi lebih dari itu, ia menjadi sebuah panggilan yang menggetarkan kesadaran akan nikmat-nikmat Tuhan yang melimpah. Setiap kali kita menapaki baris demi baris ayat yang mengulang “Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban,” kita dihadapkan pada realitas yang tak terbantahkan: betapa besar dan tak terhitungnya nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.

Dalam repetisi yang tak kenal lelah itu, Allah memberikan pelajaran yang dalam tentang pentingnya rasa syukur dan penghargaan yang seharusnya kita tanamkan dalam hati. Tiap pengulangan ayat tersebut, sebagaimana diuraikan oleh Sayyid Qutb dan Syaikh Wahbah Az Zuhaili, tidaklah semata-mata sebuah pengulangan kata-kata, melainkan sebuah panggilan yang memerlukan refleksi mendalam atas anugerah-anugerah yang tak terhingga yang telah diberikan kepada kita.

Namun, repetisi ini tak hanya mengajak kita untuk merenung, melainkan juga untuk menguatkan ikatan batin kita dengan Sang Pencipta. Setiap ulangan membawa kita lebih dekat kepada pemahaman akan kebesaran Allah dan kehinaan diri kita di hadapan-Nya. Ini adalah pengingat yang menyentuh hati tentang kedudukan kita sebagai hamba yang tak pernah lepas dari utang kepada-Nya.

Lebih jauh lagi, repetisi ini menyuarakan keadilan dan kebaikan Allah yang tak terbatas. Meskipun manusia sering kali lalai atau bahkan mengingkari nikmat-Nya, Allah tetap memberikan dengan murah hati. Ini adalah cerminan kasih sayang-Nya yang tiada tara, yang senantiasa mengalir meskipun kita kadang berpaling darinya.

Dengan demikian, repetisi yang terus-menerus dari ayat tersebut bukan sekadar elemen sastra dalam Al-Quran, tetapi juga menjadi sebuah alat spiritual yang mendalam. Ia mengajak kita untuk terus merenung, bersyukur, dan meningkatkan kesadaran akan nikmat-nikmat Allah yang tiada henti, serta memperkuat ikatan batin kita dengan-Nya.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments