Tahsin Al-Qur’an merupakan proses memperbaiki, memperindah, dan menyempurnakan bacaan Al-Qur’an sesuai kaidah yang benar. Secara bahasa, kata tahsin berasal dari akar kata ḥassana–yuḥassinu yang berarti memperbaiki, memperindah, atau membuat sesuatu menjadi baik. Adapun secara istilah, tahsin adalah usaha seorang muslim untuk memperbaiki makhraj, sifat huruf, panjang–pendek, irama, serta ketepatan hukum-hukum tajwid dalam membaca Al-Qur’an, sehingga bacaannya mendekati bacaan yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada para sahabat.
Meskipun seseorang telah mampu membaca Al-Qur’an, tahsin tetap menjadi kebutuhan yang tidak pernah selesai. Mengapa demikian? Karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang memiliki karakter fonetik sangat spesifik. Satu perubahan bunyi dapat mengubah makna. Misalnya perubahan dari huruf “ṣād” ke “sīn”, atau dari “ḍād” ke “dāl”, dapat membuat pesan ayat menyimpang. Dengan tahsin, pembaca Al-Qur’an menjaga agar bacaan tidak hanya fasih, tetapi juga tepat dan sesuai petunjuk Rasulullah ﷺ. Selain itu, kemampuan membaca sering mengalami kemunduran jika tidak dipelihara. Tahsin membantu menjaga konsistensi, memperbaiki kesalahan lama, dan mengukuhkan kebiasaan membaca yang benar.
Dalam pelaksanaan tahsin, terdapat beberapa aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, aspek makhraj dan sifat huruf. Pembaca harus mengetahui dari mana huruf itu keluar serta sifat yang melekat pada huruf tersebut, agar pelafalan tidak bertukar dengan huruf lain. Kedua, aspek mad atau panjang–pendek bacaan. Kesalahan dalam memanjangkan atau memendekkan huruf dapat mengubah struktur kalimat Al-Qur’an. Ketiga, aspek ghunnah, idgham, ikhfa’, iqlab, dan hukum tajwid lainnya. Ketepatan hukum menjadikan bacaan indah, tertib, dan sesuai riwayat. Keempat, aspek irama atau nagham, bukan dalam arti memperlagukan bacaan sesuka hati, tetapi memberikan keindahan yang tetap terikat pada kaidah.
Relevansi tahsin semakin tampak ketika kita menelusuri kisah wahyu pertama. Ketika malaikat Jibril menyampaikan ayat “Iqra’” kepada Rasulullah ﷺ, Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Tiga kali Jibril memeluk dan mengulang perintah tersebut hingga akhirnya Rasulullah membaca wahyu dengan bimbingan Jibril. Kisah ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca wahyu bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi memerlukan talaqqi, ketelatenan, serta bimbingan dari guru. Inilah ruh dari tahsin: membaca Al-Qur’an melalui pembinaan yang benar sehingga bacaan sesuai dengan yang diwariskan Jibril kepada Nabi.
Demikian pula ketika Rasulullah ﷺ menerima wahyu dan berusaha menghafalnya, Allah menurunkan ayat:
“Janganlah engkau gerakkan lidahmu (wahai Muhammad) untuk mempercepat (membaca) Al-Qur’an.” (QS. Al-Qiyamah: 16)
Ayat ini melarang Nabi tergesa-gesa dalam mengulang bacaan wahyu karena membaca tergesa-gesa berpotensi menimbulkan kesalahan. Allah menjamin akan mengumpulkan dan meneguhkan hafalan Nabi. Pelajaran ini sangat erat kaitannya dengan tahsin: membaca dengan tenang, teratur, tidak terburu-buru, dan sangat memperhatikan ketepatan lafal.
Dengan demikian, tahsin bukan hanya soal teknis membaca, tetapi bentuk penghormatan terhadap kalam Allah. Ia merupakan upaya mengikuti jejak Rasulullah ﷺ yang membaca wahyu dengan ketelitian dan kesungguhan. Setiap muslim, apa pun tingkat bacaannya, memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri melalui tahsin, sehingga Al-Qur’an dibaca bukan hanya dengan lidah yang fasih, tetapi juga hati yang penuh adab.