www.ibumengaji.com Ayat 82 surat An-nisa’ ini merupakan seruan yang amat kuat agar manusia tidak hanya membaca Al-Qur’an, tetapi juga merenungkan kandungan maknanya. Kata tadabbur berasal dari akar kata دَبَرَ yang berarti “belakang” atau “akhir suatu perkara.” Secara bahasa, tadabbur berarti memikirkan akibat dari sesuatu hingga ke makna yang tersembunyi di baliknya. Adapun secara istilah, tadabbur Al-Qur’an bermakna merenungkan ayat-ayat Allah dengan hati dan akal secara mendalam untuk memahami petunjuk, hikmah, serta mengamalkannya dalam kehidupan.
Rasulullah ﷺ memberikan teladan agung dalam tadabbur. Beliau sering membaca satu ayat berulang-ulang sampai air mata beliau mengalir karena meresapi maknanya. Para sahabat pun meneladani hal itu. Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Kami tidak melewati sepuluh ayat sebelum memahami maknanya dan mengamalkannya.” Mereka tidak menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai bacaan lisan, melainkan cermin untuk memperbaiki hati dan amal.
Cara tadabbur yang benar dimulai dengan membaca ayat dengan hati yang khusyuk, memahami arti dan konteksnya melalui tafsir, lalu mengaitkannya dengan keadaan diri. Tadabbur sejati melibatkan renungan yang menumbuhkan rasa takut, harap, cinta, dan ketaatan kepada Allah. Orang yang hanya membaca tanpa merenung tidak akan merasakan keagungan makna Al-Qur’an sebagaimana yang dirasakan generasi salaf.
Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk menegur kaum munafik yang menolak kebenaran wahyu. Allah menantang mereka agar merenungkan isi Al-Qur’an. Seandainya Al-Qur’an bukan dari sisi Allah, tentu akan ditemukan banyak ikhtilāf (pertentangan) di dalamnya. Namun kenyataannya, dari ribuan ayat yang mencakup akidah, hukum, kisah, dan ilmu, tidak ada satu pun yang bertentangan secara hakiki.
Ungkapan “ikhtilāfan katsīrā” pada akhir ayat ini menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an yang bebas dari kontradiksi. Kitab ini diturunkan selama 23 tahun dalam beragam situasi sosial dan politik, tetapi pesan dan nilai-nilainya tetap selaras. Ajaran tauhid, keadilan, dan akhlak selalu berpadu dalam harmoni yang sempurna. Bahkan, dari sisi bahasa dan struktur, Al-Qur’an menunjukkan keseimbangan luar biasa. Banyak kata yang berpasangan muncul dengan frekuensi yang sama, seperti dunia dan akhirat, malaikat dan syaitan, menunjukkan keajaiban tatanan bahasanya.
Konsistensi Al-Qur’an ini menjadi bukti nyata bahwa ia bukan hasil karangan manusia. Tidak ada kitab sepanjang sejarah yang memiliki kesatuan makna dan kebenaran seperti Al-Qur’an. Ayat ini menegaskan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an bukan hanya pada bahasanya yang indah, tetapi juga pada kesempurnaan logika dan kebenarannya yang abadi.
Dengan demikian, tadabbur bukan sekadar membaca, melainkan perjalanan batin untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Orang yang bertadabbur akan menemukan kedamaian, keyakinan, dan arah hidup. Karena itu, setiap Muslim semestinya menjadikan tadabbur sebagai kebiasaan harian, agar Al-Qur’an tidak hanya terdengar di lisan, tetapi juga hidup di dalam hati.