Yayasan Ibu Mengaji Indonesia

Qadha Puasa Ramadhan: Kedudukan Hukum serta Pandangan Empat Mazhab

www.ibumengaji.com Puasa Ramadhan adalah kewajiban agung yang Allah tetapkan bagi setiap muslim yang baligh, berakal, dan mampu. Namun syariat yang sempurna ini juga memberikan ruang keringanan bagi hamba-Nya ketika mereka memiliki udzur yang sah, seperti sakit, safar, haid, nifas, atau keadaan lain yang membuat puasa tidak mungkin dilakukan. Keringanan ini bukanlah pembatalan kewajiban, melainkan penundaan pelaksanaannya. Sekitar 3 bulan lagi kita akan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan. Karena itu, qadha menjadi kewajiban yang harus ditunaikan segera setelah udzur hilang. Para ulama sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan adalah wajib bagi mereka yang meninggalkannya dengan udzur.

Pandangan Empat Mazhab tentang Cara Mengqadha

1. Mazhab Hanafi
Menurut Hanafiyah, qadha harus dilakukan segera setelah udzur hilang, namun tidak sampai pada derajat wajib ‘ala al-fawr. Artinya, jika seseorang menunda tanpa alasan, ia berdosa, tetapi puasanya tetap sah ketika dilakukan kemudian. Qadha dapat dilakukan kapan saja sebelum Ramadhan berikutnya.

2. Mazhab Maliki
Malikiyah memandang qadha sebagai kewajiban yang pelaksanaannya sebaiknya dipercepat, tetapi tidak sampai wajib langsung. Jika menunda hingga masuk Ramadhan berikutnya tanpa alasan, maka ia wajib qadha ditambah fidyah sebagai denda menunda.

3. Mazhab Syafi’i
Menurut Syafi’iyah, qadha wajib dilakukan sebelum Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda tanpa udzur hingga datang Ramadhan berikutnya, maka ia wajib qadha dan membayar fidyah satu mud (± 6–7 ons makanan pokok) untuk setiap hari yang ditunda. Namun jika penundaan karena udzur berlanjut seperti sakit yang tidak kunjung sembuh, maka fidyah tidak wajib.

4. Mazhab Hanbali
Hanabilah sejalan dengan Syafi’iyah: menunda hingga Ramadhan berikutnya tanpa udzur mewajibkan qadha dan fidyah. Namun bila udzur terus berlanjut, maka hanya qadha saja tanpa fidyah.

Jika Belum Mengqadha hingga Masuk Ramadhan Berikutnya

Para ulama sepakat bahwa puasa Ramadhan tahun berikutnya tetap wajib dikerjakan, sementara qadha Ramadhan sebelumnya tetap menjadi tanggungan. Bagi yang menunda tanpa alasan, sebagian besar mazhab menambahkan kewajiban fidyah sebagai bentuk taubat dan pemenuhan tanggung jawab.

Namun satu hal penting: syariat memberi ruang untuk memperbaiki diri. Tidak ada kata terlambat selama kita masih hidup. Banyak orang yang merasa berat memulai qadha karena jumlahnya banyak. Padahal qadha bisa dilakukan bertahap—satu demi satu—yang penting adalah memulai. Setiap hari qadha adalah ibadah yang Allah balas penuh kemurahan, bahkan bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya.

Jika Seseorang Meninggal dan Masih Memiliki Hutang Puasa

Jika seseorang memiliki hutang puasa tetapi punya kesempatan mengqadha, lalu meninggal sebelum melaksanakannya, maka menurut Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, ahli waris boleh (bahkan dianjurkan) membayarkan fidyah sejumlah satu mud per hari. Mazhab Hanbali menambahkan, keluarga boleh mengqadha puasa tersebut untuk orang yang meninggal berdasarkan hadits: “Barangsiapa meninggal dan memiliki hutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Penutup: Qadha sebagai Kesempatan Memperbaiki Diri

Mengqadha puasa bukan sekadar mengganti hari yang hilang, tetapi bentuk penghormatan kepada perintah Allah. Ini jalan kembali, bukti syukur, dan momentum perbaikan. Tidak masalah jika jumlahnya banyak—yang penting niat dan mulai. Setiap hari qadha adalah langkah mendekat kepada ridha-Nya. Mari manfaatkan waktu sebelum Ramadhan tiba, agar kita menyambutnya dengan hati yang lebih ringan, bersih, dan siap mempersembahkan ibadah terbaik. Semoga Allah memudahkan langkah kita menunaikannya. Aamiin.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments