www.ibumengaji.com Kalimat hikmah yang menegaskan hubungan erat antara penjagaan lisan di dunia dengan kemuliaan akhir kehidupan seseorang. Para ulama menjelaskan bahwa lisan merupakan anggota tubuh yang paling kecil namun memiliki pengaruh terbesar terhadap nasib manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
فَمَنْ حَفِظَ لِسَانَهُ لِأَجْلِ اللهِ تَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَطْلَقَ اللهُ لِسَانَهُ بِالشَّهَادَةِ عِندَ الْمَوْتِ وَلِقَاءِ اللهِ تَعَالَى
“Barangsiapa yang menjaga lisannya di dunia karena Allah Ta’ala, maka DIA akan memberikannya kemampuan untuk mengucapkan syahadat ketika wafat dan bertemu dengan-NYA” [Kitab Bahrud Dumu’ : 124]
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menegaskan bahwa lisan adalah cermin hati. Apabila hati bersih, maka ucapan akan membawa kebaikan; sebaliknya, bila hati kotor, maka lisan akan mudah menebar keburukan. Karena itu, menjaga lisan bukan hanya berarti menahan diri dari berkata dusta, ghibah, atau fitnah, tetapi juga melatih hati agar senantiasa berada dalam keikhlasan dan kesadaran kepada Allah.
Para ulama juga menjelaskan makna kalimat “أَطْلَقَ اللهُ لِسَانَهُ بِالشَّهَادَةِ عِندَ الْمَوْتِ” — bahwa Allah akan memudahkan seseorang untuk mengucapkan kalimat tauhid ketika sakaratul maut. Ini adalah tanda husnul khatimah (akhir yang baik), yang tidak diberikan kecuali kepada orang yang senantiasa menjaga lisannya dan hatinya dari keburukan selama hidupnya.
Imam Ibnul Qayyim dalam al-Jawāb al-Kāfī menyebutkan, siapa yang membiasakan lisannya dengan dzikrullah di masa sehatnya, maka Allah akan menjadikannya mudah berzikir di saat sakaratul maut. Sebaliknya, siapa yang lisannya terbiasa dengan maksiat, maka sangat sulit baginya untuk mengucapkan La ilaha illallah di akhir hayat.
Menjaga Lisan, Menjemput Husnul Khatimah
Lisan adalah anugerah besar yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan lisan, manusia dapat berbicara, berkomunikasi, dan menyampaikan ilmu. Namun, di sisi lain, lisan juga bisa menjadi sebab kehancuran seseorang. Nabi ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kata yang diridhai Allah tanpa disadarinya, namun Allah mengangkat derajatnya karenanya; dan seseorang mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah tanpa disadarinya, namun Allah mencampakkannya ke dalam neraka.”
(HR. al-Bukhari)
Hikmah dari kalimat “Barangsiapa menjaga lisannya karena Allah, maka Allah akan membukakan lisannya dengan syahadat saat wafat” mengandung pesan mendalam: setiap ucapan mencerminkan isi hati, dan hati yang bersih akan menghasilkan akhir yang baik.
Menjaga lisan karena Allah berarti berbicara dengan niat yang lurus, menghindari perkataan sia-sia, serta menjadikan setiap ucapan sebagai amal salih. Seorang mukmin sejati tidak akan mudah melontarkan kata-kata kasar, menghina, atau menyebarkan kebencian. Ia tahu bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.”
(QS. Qāf: 18)
Dalam kehidupan sehari-hari, menjaga lisan juga berarti menahan diri dari ghibah, namimah (adu domba), atau berbicara tanpa manfaat. Orang yang demikian akan hidup dengan ketenangan, sebab hatinya bersih dari kebencian.
Ketika ajal tiba, Allah akan memudahkan lidahnya mengucapkan La ilaha illallah. Itu bukan kebetulan, melainkan buah dari kebiasaan baik di masa hidup. Sebaliknya, lidah yang terbiasa berdusta dan menghina akan terasa berat untuk menyebut nama Allah di akhir hayat.
Maka, menjaga lisan bukan sekadar adab sosial, tetapi bentuk ibadah yang mengantarkan kepada husnul khatimah. Jika seseorang ingin akhir hidupnya indah, maka mulailah dari ucapannya hari ini: lembutkan, jujurkan, dan niatkan karena Allah. Sebab, lisan yang terjaga di dunia adalah kunci bagi lisan yang fasih mengucap syahadat ketika bertemu dengan Sang Pencipta.