Yayasan Ibu Mengaji Indonesia

Makna Kebahagiaan Sejati: Sebuah Renungan Mendalam

Kebahagiaan adalah cita rasa batin yang dicari setiap manusia. Namun, sering kali manusia mengejarnya jauh ke luar diri mereka, padahal sumber kebahagiaan justru berada sangat dekat—yaitu pada kemampuan untuk menghargai apa yang telah dimiliki. Kalimat hikmah “Kebahagiaan tidak akan pernah datang kepada mereka yang tidak menghargai apa yang telah mereka miliki” mengandung pelajaran yang sederhana, tetapi sangat dalam. Kebahagiaan sesungguhnya bukan tentang memiliki segalanya, melainkan tentang menyadari bahwa apa yang kita miliki pada hari ini adalah anugerah yang patut disyukuri.

Secara hakikat, kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang tenang, lapang, dan ridha. Ia bukan hanya emosi sesaat, tetapi kondisi batin yang stabil dan kokoh. Al-Qur’an menyebut ketenangan batin sebagai “ṭuma’nīnah”, yakni ketenteraman yang lahir ketika hati terhubung dengan Allah, bersyukur, dan merasa cukup atas nikmat yang ada. Karena itu, menghargai apa yang dimiliki menjadi kunci utama kebahagiaan. Ketika seseorang dapat melihat nikmat yang ada—sekecil apa pun—maka hatinya akan terisi dengan syukur. Syukur inilah yang menghadirkan rasa cukup, dan rasa cukup melahirkan ketenangan.

Sebaliknya, seseorang yang tidak menghargai apa pun yang dimilikinya akan terus hidup dalam rumah ketidakpuasan. Hidupnya hanya berisi keluhan, pembandingan diri dengan orang lain, dan harapan yang tidak berujung. Ia merasa selalu kurang, seolah-olah kebahagiaan itu terletak pada sesuatu yang jauh di depan, padahal yang dekat pun tidak ia lihat. Ketidakmampuan untuk menghargai nikmat menjadikan seseorang buta terhadap kebaikan hidupnya sendiri. Hatinya menjadi sempit, gelisah, dan mudah kecewa. Dalam kondisi seperti ini, kebahagiaan tak akan pernah singgah.

Al-Qur’an dan hadits memberikan gambaran jelas tentang siapa yang akan mendapatkan kebahagiaan. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS. Ar-Ra’d: 29). Kebahagiaan, menurut ayat ini, bukan sekadar perasaan nyaman di dunia, tetapi kebahagiaan yang bersifat hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hadits, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana‘ah (merasa cukup) terhadap apa yang diberikan kepadanya” (HR. Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa kebahagiaan terletak pada rasa cukup, bukan pada jumlah harta atau pencapaian.

Dengan demikian, menurut pandangan Islam, kebahagiaan adalah perpaduan antara iman, amal saleh, syukur, dan qana‘ah. Orang-orang yang bersyukur dan menghargai nikmat akan melihat dunia dengan kacamata yang jernih. Mereka tidak mudah goyah oleh perubahan keadaan karena hati mereka telah menemukan sandarannya. Mereka mampu menghargai kesehatan, keluarga, rezeki, kesempatan, dan waktu, bahkan dalam kesederhanaan sekalipun.

Kesimpulannya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar terlalu jauh. Ia hadir ketika hati belajar menghargai apa yang ada. Ia lahir dari rasa syukur, dari kemampuan melihat nikmat dengan mata yang lapang, dan dari keyakinan bahwa apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik. Siapa yang bersyukur, dialah yang akan berbahagia. Sebaliknya, siapa yang mengingkari nikmat, hidupnya akan senantiasa merasa kurang. Maka, bersyukurlah, karena di situlah pintu pertama menuju kebahagiaan sejati.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments