www.ibumengaji.com Dalam tradisi Islam, pujian merupakan ujian yang halus. Banyak ulama mengajarkan agar seorang muslim meresponsnya dengan doa, bukan dengan rasa bangga. Salah satu doa yang paling dikenal adalah: “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka ucapkan, ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau menghukumku dengan apa yang mereka katakan.” Untuk memahami kedudukan doa ini, kita perlu melihat dari tiga sisi: sumber kitabnya, status periwayatannya, serta makna spiritual yang terkandung di dalamnya.
Sumber Kitab dan Penulisnya
Doa tersebut tercantum dalam kitab al-Futuhat al-Madaniyyah Syarh asy-Syu’ab al-Imaniyyah. Kitab ini merupakan karya ulama besar Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani, yang hidup pada abad ke-19 dan dikenal sebagai salah satu ulama Hijaz yang paling produktif. Beliau menulis ratusan kitab—mulai dari fikih, tafsir, hadis, hingga tasawuf—yang hingga kini masih dipelajari di berbagai pesantren.
Al-Futuhat al-Madaniyyah adalah syarah dari kitab asy-Syu’ab al-Imaniyyah, sebuah karya yang menguraikan cabang-cabang iman menurut perspektif akhlak dan amalan hati. Dalam syarah tersebut, Syekh Nawawi menukil banyak perkataan ulama salaf serta doa-doa yang berkaitan dengan pembinaan jiwa. Doa “ketika dipuji” termasuk bagian dari tradisi akhlak yang beliau bawakan dalam penjelasan tersebut.
Apakah Ini Hadits Nabi ﷺ? Bagaimana Statusnya?
Walaupun sering dianggap sebagai hadis, para ulama hadis tidak menemukan redaksi doa ini dalam kitab-kitab hadis primer secara sanad sahih. Doa ini tidak tercantum dalam Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, ataupun kitab hadis besar lainnya dengan sanad yang jelas.
Beberapa kitab adab menyebut doa ini sebagai ucapan “seorang sahabat ketika dipuji,” namun tidak disertai nama sahabat, jalur periwayatan, maupun perawi-perawinya. Karena itu, secara kaidah musthalah hadis, doa ini tidak dapat dihukumi sebagai hadis marfu’ (perkataan Nabi ﷺ), tetapi dikategorikan sebagai atsar atau ucapan salaf yang diwariskan melalui tradisi ulama.
Dengan demikian, doa ini bukanlah sunnah spesifik yang bersumber dari Nabi ﷺ, tetapi merupakan doa yang diajarkan para ulama karena maknanya yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai kerendahan hati dalam Islam.
Hikmah dan Faedah Mengamalkannya
Walaupun bukan hadis, doa ini memiliki kedalaman makna yang sangat berharga dalam pembinaan akhlak. Pertama, doa ini mengajarkan tawadhu’ atau kerendahan hati. Seorang muslim tidak boleh merasa bangga berlebihan ketika mendapat pujian, karena pujian sering kali hanya melihat sisi luar seseorang.
Kedua, doa ini mengingatkan bahwa manusia tidak mengetahui seluruh keadaan diri kita. Dengan memohon ampun atas “apa yang tidak mereka ketahui”, seseorang mengakui bahwa dirinya penuh kekurangan yang tersembunyi, sekaligus berharap agar Allah menutupinya.
Ketiga, doa tersebut menjadi benteng agar hati tidak terjerumus dalam riya dan kesombongan. Pujian adalah ujian; bisa mengikis keikhlasan bila tidak dijaga. Doa ini menempatkan pujian sebagai momentum untuk memperbaiki diri, bukan untuk merasa lebih dari orang lain.
Keempat, doa ini menanamkan kesadaran bahwa penilaian manusia bukanlah ukuran hakiki. Yang terpenting adalah penilaian Allah yang Maha Mengetahui batin dan amal yang tersembunyi.
Dengan memahami sumbernya, status periwayatannya, serta hikmah yang terkandung, kita bisa menempatkan doa ini pada tempat yang benar: bukan sebagai sabda Nabi ﷺ, tetapi sebagai amalan adab yang indah dari para ulama. Doa ini membantu seorang muslim menjaga keikhlasan, meredam kesombongan, dan terus berupaya menjadi lebih baik daripada gambaran orang lain terhadap dirinya.