www.ibumengaji.com Dalam kehidupan modern yang serba cepat, tuntutan untuk selalu produktif dan efisien seringkali membuat kita terjebak dalam budaya ‘tergesa-gesa’. Di tengah arus deras ini, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-A’masy menawarkan perspektif seimbang yang sangat relevan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak tergesa atau santai dalam segala sesuatu adalah baik, kecuali dalam amalan akhirat (harus bergegas).” Hadits yang menurut penilaian Imam Adz-Dzahabi memenuhi syarat al-Bukhārī dan Muslim ini mengandung kebijaksanaan mendalam tentang manajemen waktu dan prioritas hidup.
Mengenal Perawi: Al-A’masy
Sebelum menyelami makna hadits, penting untuk mengenal perawinya. Al-A’masy—yang nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Mahran al-Asadi—sebenarnya adalah seorang tabi’in, bukan sahabat Nabi. Ia lahir sekitar tahun 61 Hijriah dan wafat tahun 148 H, sehingga tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah ﷺ. Statusnya sebagai tabi’in (generasi setelah sahabat) justru membuat periwayatannya istimewa, karena ia meriwayatkan hadits ini dengan penuh kehati-hatian, bahkan menyatakan: “Aku tidak mengetahui hadits ini kecuali dari Nabi ﷺ”—sebuah ungkapan yang menunjukkan ketelitian dan tanggung jawab ilmiahnya.
Al-A’masy dikenal sebagai salah satu imam hadits terpercaya, dengan hafalan yang kuat dan integritas tinggi. Meski mengalami kebutaan, hal itu tidak menghalanginya menjadi ulama terkemuka. Kehidupannya sendiri mencerminkan keseimbangan antara ketenangan dalam menuntut ilmu dan kecepatan dalam beramal shaleh.
Memahami Dua Sisi Kebijaksanaan
Hadits ini mengajarkan prinsip diferensiasi—berbeda sikap untuk konteks berbeda. Di satu sisi, at-tu’adah (ketenangan, kesantunan, tidak terburu-buru) dianjurkan dalam urusan duniawi. Di sisi lain, al-‘ajalah (kecepatan, ketergesaan) justru dianjurkan untuk urusan akhirat.
Pertama, Tu’adah dalam Urusan Dunia
Ketenangan dalam urusan duniawi mencakup berbagai aspek: dalam mengambil keputusan penting, dalam berbicara, dalam bekerja, bahkan dalam berinteraksi sosial. Ketergesaan seringkali menyebabkan kesalahan, penyesalan, dan hasil yang tidak optimal. Sebagaimana pepatah Arab: “Bersantai-santailah, niscaya kamu akan mendapatkan sebagian besar yang kamu cari.” Ini bukan berarti bermalas-malasan, tetapi melakukan sesuatu dengan perencanaan matang, kesabaran, dan ketelitian.
Kedua, Kecepatan dalam Urusan Akhirat
Berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) adalah prinsip dasar dalam Islam. Ketika menyangkut ibadah, sedekah, menuntut ilmu agama, atau amal shaleh lainnya, penundaan seringkali berisiko tertinggalnya pahala atau bahkan tertutupnya kesempatan. Rasulullah ﷺ mengingatkan: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita.”
Implementasi dalam Kehidupan Kontemporer
Dalam Lingkup Personal:
Seorang pelajar atau profesional perlu menerapkan tu’adah dalam menyusun strategi belajar atau karier—tidak terburu-buru namun konsisten. Sebaliknya, dalam memperbaiki diri, meninggalkan kebiasaan buruk, atau memperdalam ilmu agama, diperlukan kecepatan tindakan tanpa menunggu “waktu yang tepat”.
Dalam Lingkup Sosial:
Dalam bermasyarakat, kita perlu santun dalam menyikapi perbedaan, tidak terburu-buru menuduh atau menghakimi. Namun dalam membantu sesama, menebar manfaat, atau mendamaikan konflik, diperlukan respons yang cepat dan tanggap.
Dalam Lingkup Spiritual:
Ibadah rutin seperti shalat tepat waktu, sedekah ketika ada kemampuan, atau menghafal Al-Qur’an memerlukan disiplin dan kecepatan. Sementara dalam memahami teks agama atau mengambil hukum, diperlukan ketenangan dan kedalaman.
Relevansi Abadi di Zaman Modern
Di era digital yang serba instan, hadits ini menjadi penyeimbang yang vital. Media sosial mendorong reaksi spontan yang seringkali ceroboh—di sinilah tu’adah diperlukan. Di sisi lain, algoritma platform digital yang menyajikan konten sesuai preferensi bisa membuat kita terjebak dalam “filter bubble” yang menghambat pertumbuhan spiritual—di sinilah kecepatan dalam mencari ilmu dan amal shaleh diperlukan.
Keseimbangan ini mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan membedakan kapan harus melangkah perlahan dan kapan harus berlari. Sebagaimana nasihat Lukman al-Hakim kepada putranya: “Wahai anakku, bersegeralah dalam urusan akhiratmu, dan jangan menundanya, maka ketika maut datang, engkau sedang dalam keadaan terbaik.”
Dengan memahami dan mengamalkan hadits ini, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih produktif, tetapi juga lebih bermakna—menjalani kehidupan dunia dengan tenang tanpa melupakan perlombaan menuju akhirat. Inilah esensi menjadi khalifah di bumi: mengelola waktu dan prioritas dengan bijak, sebagaimana teladan yang diajarkan Rasulullah ﷺ melalui sabdanya yang abadi.