www.ibumengaji.com Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, artinya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW saat beliau masih berada di kota Makkah, sebelum hijrah ke Madinah. Pendapat mayoritas ulama dan sejarawan Islam mengenai status Makkiyyah Surat Al-Fatihah didasarkan pada sejumlah faktor dan bukti historis. Berikut beberapa penjelasan mengapa Surat Al-Fatihah dianggap sebagai surat Makkiyyah:
- Konteks Sejarah: Saat Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu dan diangkat menjadi nabi di Gua Hira, beliau berada di Makkah. Surat Al-Fatihah adalah salah satu surat pertama yang diturunkan kepada beliau, yang menunjukkan bahwa surat ini berasal dari periode awal kenabian di Makkah.
- Tema dan Isi: Isi Surat Al-Fatihah fokus pada pemahaman dasar tentang Tuhannya dan berisi doa serta pujian kepada Allah SWT. Surat ini tidak berbicara tentang hukum-hukum syariah atau peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi setelah hijrah ke Madinah. Ini adalah indikasi tambahan bahwa surat ini diturunkan pada periode awal kenabian, ketika pesan dasar keimanan sedang ditekankan.
- Ketidakhadiran Referensi Madinah: Surat-surat yang diturunkan di Madinah sering kali mencakup masalah-masalah khusus yang relevan dengan komunitas Muslim di sana, seperti hukum-hukum syariah, perjanjian, dan sejarah tertentu yang terjadi di Madinah. Surat Al-Fatihah tidak mencerminkan hal-hal semacam itu dan tidak merujuk kepada keadaan di Madinah.
- Penyembahan Allah Yang Esa: Surat Al-Fatihah menekankan penyembahan Allah yang Esa tanpa berbicara tentang kontroversi atau tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di Madinah, seperti yang terjadi setelah hijrah.
Meskipun ada perbedaan pendapat di antara beberapa ulama tentang status Makki atau Madani untuk beberapa surat tertentu dalam Al-Qur’an, status Makkiyyah Surat Al-Fatihah umumnya diterima sebagai Makkiyyah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah dan isi surat tersebut.
Surat ini memiliki keutamaan yang agung dan telah dijelaskan mengenainya oleh banyak hadits, diantaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubâdah bin ash-Shâmit dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang bersabda, “Tidak (sah/sempurna) shalat seorang yang tidak membaca Fâtihah al-Kitab (Pembuka Kitabullah, al-Fâtihah).” (Shahîh al-Jâmi’, kitab al-Adzân:1/184)
2. Dari Abu Hurairah radliyallâhu ‘anhu, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku telah membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku dengan dua bagian; separuhnya untuk-Ku dan separuhnya lagi untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.
Bila seorang hamba mengucapkan, ‘al-Hamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’
Dan bila dia mengucapkan, ‘ar-Rahmânir Rahîm.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’
Dan bila dia mengucapkan, ‘Mâliki Yawmid Dîn.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’
Dan bila dia mengucapkan, ‘Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Inilah (bagian) yang diantara-Ku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.’
Dan bila dia mengucapkan, ‘Ihdinash Shirâthal Mustaqîm Shirâthal Ladzîna An’amta ‘alaihim Ghairil Maghdlûbi ‘alaihim wa ladl Dlâllîn.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Inilah yang buat hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.” (HR.Muslim)