www.ibumengaji.com Dalam perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada situasi yang menguji prasangka. Setiap orang membawa kisah, latar belakang, dan pengalaman yang berbeda, sehingga mudah bagi kita untuk menilai sebelum memahami. Pada titik inilah hikmah para ulama menjadi cahaya penuntun, sebagaimana ungkapan yang disebutkan dalam al-Fawāid al-Mukhtārah li Sālik Ṭarīq al-Ākhirah, sebuah kumpulan faedah dan nasihat bagi penempuh jalan akhirat. Disebutkan:
صَاحِبُ حُسْنِ الظَّنِّ لَا يُخِيبُ وَإِنْ أَخْطَأَ
“Orang yang selalu berbaik sangka tidak akan rugi, walaupun apa yang ia sangka ternyata salah.”
Hikmah ini bukan sekadar kalimat indah, namun prinsip hidup yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan sunnah. Allah memerintahkan dengan jelas: “Jauhilah banyak prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa.” (QS. Al-Hujurāt: 12). Rasulullah ﷺ pun mengingatkan bahwa prasangka adalah sedusta-dusta ucapan, karena sering muncul tanpa bukti, hanya dari bisikan dan bayangan. Kedua dalil ini menegaskan bahwa husnuzan adalah akhlak wajib, bukan pilihan tambahan.
Namun kepada siapa kita diperintahkan berprasangka baik? Pertama, kepada Allah, dengan meyakini bahwa apa pun yang terjadi adalah ketetapan terbaik dari-Nya. Kedua, kepada diri sendiri, agar kita optimis dalam memperbaiki kekurangan. Ketiga, kepada sesama manusia selama tidak ada bukti nyata yang menyelisihi. Berbaik sangka kepada manusia berarti memberi ruang bagi kemungkinan kebaikan, bukan tertipu, tetapi tidak tergesa-gesa dalam menilai.
Sikap ini membawa banyak faedah. Hati menjadi lebih tenang, karena tidak ada tempat bagi prasangka buruk yang menggerogoti ketentraman jiwa. Hubungan sosial pun terjaga, sebab orang yang suka berbaik sangka cenderung lebih ramah, lembut, dan menyenangkan. Prasangka baik juga menghindarkan permusuhan dan kecurigaan yang merusak kepercayaan. Seseorang yang hatinya dipenuhi prasangka baik akan mudah memaafkan, tidak mudah tersinggung, dan tidak mudah termakan fitnah. Semua ini adalah bagian dari kebersihan hati yang dijanjikan pahala.
Meski demikian, berprasangka baik tidak berarti kita harus menanggalkan kewaspadaan. Ada garis halus yang membedakan suudzan dari sikap hati-hati. Suudzan menghakimi tanpa bukti, mengisi hati dengan tuduhan dan bayangan buruk, dan dilarang dalam agama. Sementara itu, waspada adalah sikap menjaga diri dari potensi bahaya berdasarkan bukti atau pengalaman nyata, tanpa mencurigai secara batin. Kita boleh waspada ketika berinteraksi dengan orang baru, atau dengan orang yang memang memiliki catatan buruk, tetapi tanpa menjatuhkan vonis di hati. Di sinilah letak keseimbangan seorang muslim: hatinya bersih, tetapi langkahnya tetap berhati-hati.
Agar tetap adil dalam bersikap, kita perlu memisahkan antara hati dan tindakan. Di dalam hati, kita jaga prasangka baik; dalam tindakan, kita jaga diri dari kemungkinan buruk. Nilai seseorang berdasarkan bukti, bukan bisikan prasangka. Jika melihat kekurangan, cari alasan kebaikan sebagaimana nasihat ulama salaf: berikan saudaramu tujuh puluh udzur sebelum menilainya buruk. Dan yang terpenting, doakan orang lain, bukan mencurigainya.
Pada akhirnya, prasangka baik adalah cahaya. Ia tidak pernah merugikan pemiliknya. Bahkan ketika ternyata salah, hati tetap bersih dan terhindar dari dosa. Dan ketika benar, ia menjadi jembatan kebaikan dan persaudaraan. Husnuzan adalah jalan para orang-orang berjiwa besar—yang melihat manusia dengan mata kasih, bukan mata curiga.