www.ibumengaji.com Ungkapan penuh makna dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia, maka hendaknya dengan ilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat, maka hendaknya dengan ilmu,” bukan sekadar nasihat, tetapi sebuah prinsip hidup yang mendalam. Ucapan ini diriwayatkan dalam Manaqib Asy-Syafi’i, sebuah karya yang menyingkap keutamaan, perjalanan hidup, dan kebijaksanaan Imam besar tersebut.
Secara harfiah, kata manaqib berasal dari bahasa Arab manqibah (jamaknya manaqib) yang berarti keutamaan, keistimewaan, atau sifat-sifat mulia seseorang. Maka, Manaqib Asy-Syafi’i adalah kitab yang berisi kisah hidup, perjalanan ilmiah, akhlak, serta keunggulan ilmu Imam Asy-Syafi’i, salah satu ulama besar pendiri mazhab dalam Islam. Karya ini bukan hanya biografi, tetapi juga cermin bagaimana seorang ulama meniti jalan ilmu hingga menjadi teladan sepanjang zaman.
Ungkapan Imam Asy-Syafi’i di atas menegaskan satu hal mendasar: bahwa ilmu adalah kunci kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dunia yang penuh tantangan dan perubahan menuntut manusia untuk memahami bagaimana hidup dengan bijak. Tanpa ilmu, seseorang mudah terjebak dalam kesalahan, kebodohan, dan kezaliman. Ilmu membantu kita membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan. Dalam konteks dunia, ilmu menjadi sarana untuk bekerja, berinovasi, dan membangun peradaban. Sedangkan dalam konteks akhirat, ilmu menjadi cahaya yang menuntun manusia untuk beribadah dengan benar dan mengenal Tuhannya dengan penuh keyakinan.
Pentingnya ilmu bahkan ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Allah SWT berfirman, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11). Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan karena keturunan, harta, atau kedudukan, melainkan karena keimanan dan ilmu. Rasulullah ﷺ juga bersabda bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Artinya, ilmu bukan pilihan, melainkan kebutuhan hakiki seorang hamba.
Lalu bagaimana agar kita memiliki bekal ilmu yang cukup demi kebahagiaan dunia dan akhirat? Pertama, harus ada niat yang lurus. Menuntut ilmu bukan semata untuk kebanggaan atau keuntungan pribadi, melainkan untuk mencari ridha Allah dan memberi manfaat bagi sesama. Kedua, perlu kesungguhan dan ketekunan. Ilmu tidak datang seketika, tetapi melalui proses belajar yang panjang, membaca, mendengar, merenung, dan mengamalkan. Ketiga, harus disertai dengan akhlak dan adab. Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa ilmu akan membawa kebodohan.
Selain itu, penting juga menjaga kontinuitas belajar. Dalam Islam, belajar tidak dibatasi oleh usia. Dari buaian hingga liang lahat, manusia selalu dituntut untuk menambah pengetahuan. Di era modern ini, sumber ilmu begitu luas—dari kitab klasik hingga teknologi digital. Namun, kebijaksanaan dalam memilih dan menyaring ilmu tetap harus dijaga agar tidak tersesat oleh informasi yang menyesatkan.
Dengan ilmu, manusia memahami makna kehidupan dan menjalani takdirnya dengan penuh kesadaran. Dunia menjadi tempat beramal, dan akhirat menjadi tempat menuai hasil. Sebagaimana pesan Imam Asy-Syafi’i, kebahagiaan di kedua alam itu hanya bisa diraih melalui ilmu yang bermanfaat—ilmu yang menumbuhkan iman, amal, dan akhlak. Karena sejatinya, ilmu adalah cahaya, dan tanpa cahaya, langkah manusia akan selalu berada dalam kegelapan.